Pertama memanusiakan anak selayaknya manusia. Kedua adalah melakukan pencegahan dimana tindakan untuk menghindarkan anak dari segala bentuk kekerasan. Ketiga, respons untuk menanggulangi kalau kekerasan tersebut sudah terjadi. "Tapi sayang masih banyak diantara kita belum paham terhadap tiga hal ini.
JAKARTA Menteri Tenaga Kerja dan Transmigrasi Muhaimin Iskandar meminta pemerintah daerah agar menekan dan menghilangkan praktik ekonomi biaya tinggi di daerahnya."Satu upaya untuk menaikkan upah pekerja atau buruh adalah dengan menekan dan menghilangkan
Olehkarena itu harus ada upaya-upaya untuk menekan dan menghapus praktik-praktik diskriminasi melalui perlindungan dan penegakkan HAM disetiap ranah kehidupan manusia. Program Pembangunan Jangka Menengah Nasional (RPJMN) 2004-2009 memasukkan program penghapusan diskriminasi dalam berbagai bentuk sebagai program pembangunan bangsa.
cash. › Utama›Kekerasan Sulit Dihapuskan... Hingga kini, praktik-praktik diskriminasi masih banyak terjadi dalam kehidupan rumah tangga, masyarakat, dan lainnya. Jika hal itu tak bisa diatasi dan ditekan, kekerasan pada perempuan akan sulit dihapuskan. KOMPAS/ADITYA PUTRA PERDANA Dua perempuan nelayan yang tergabung dalam komunitas Puspita Bahari, di Kecamatan Bonang, Kabupaten Demak, Jawa Tengah, menunjukkan kartu asuransi nelayan dari Kementerian Kelautan dan Perikanan, Jumat 9/8/2019. Difasilitasi Koalisi Rakyat untuk Keadilan Perikanan Kiara dan Persaudaraan Perempuan Nelayan Indonesia PPNI, mereka telah memperjuangkan hak tersebut selama tiga KOMPAS — Hingga kini, praktik-praktik diskriminasi masih banyak terjadi dalam kehidupan rumah tangga, masyarakat, dan lainnya. Jika hal itu tak bisa diatasi dan ditekan, kekerasan pada perempuan akan sulit dihapuskan. Diskriminasi ialah akar Komisi Nasional Komnas Perempuan Azriana Manalu mengatakan itu pada Kongres Perempuan Jawa Tengah I di Kota Semarang, Senin 25/11/2019. Diskriminasi terhadap perempuan terjadi salah satunya karena ada aturan-aturan masyarakat yang membatasi. ”Kalau ada pembedaan jenis kelamin, pembatasan ruang gerak perempuan, itu diskriminasi terhadap perempuan. Tak hanya dalam kebijakan, tetapi juga pada praktik keseharian. Saat relasi tak setara, yang di bawah bisa mengalami kekerasan,” kata juga Pembukaan Kongres Perempuan Jawa Tengah IKOMPAS/ADITYA PUTRA PERDANA Suasana diskusi pada pembukaan Kongres Perempuan Jawa Tengah I, di Kota Semarang, Senin 25/11/2019. Kongres yang berlangsung 25-26 November itu mengangkat tema ”Menguatkan Kepemimpinan Perempuan untuk Mewujudkan Pemerintahan yang Demokratis, Adil, dan Sejahtera”.Azriana menambahkan, auktor intelektualis diskriminasi terhadap perempuan tidak tunggal. Selain negara, lewat kebijakan atau peraturan, juga oleh masyarakat dan keluarga. Selain itu, perusahaan juga bisa menjadi pelaku diskriminasi terhadap ada pembedaan jenis kelamin, pembatasan ruang gerak perempuan, itu diskriminasi terhadap catatan Komnas Perempuan, terdapat 421 kebijakan yang diskriminatif. Dari jumlah itu, sebanyak 40 kebijakan di tingkat nasional, yakni terkait kriminalisasi perempuan, pengabaian afirmasi, dan pengurangan hak konstitusional. Sementara 381 kebijakan di tingkat daerah yang mengatur soal agama, moralitas, dan ketertiban umum.”Saya berharap ibu-ibu memantau. Bagaimana peraturan-peraturan dari provinsi hingga desa dihasilkan. Dengan adanya pengawalan, kita bisa mencegah kebijakan-kebijakan yang diskriminatif. Dimulai dengan melihat isinya, apa yang diatur,” ujar Azriana kepada sekitar 700 peserta kongres yang juga Kongres Perempuan Jateng Diharapkan Tak Hanya Hasilkan SloganKOMPAS/ADITYA PUTRA PERDANA Peserta Kongres Perempuan Jawa Tengah I mengamati foto perempuan Jawa Tengah, di sela-sela pembukaan kongres tersebut, di Kota Semarang, Senin 25/11/2019.Konsolidasi gerakanKongres Perempuan Jateng I pada 25-26 November 2019 diinisiasi Dinas Pemberdayaan Perempuan, Perlindungan Anak, Pengendalian Penduduk dan Keluarga Berencana DP3AP2KB Jateng dan Badan Koordinasi Organisasi Wanita Jateng. Kongres ini juga merupakan konsolidasi gerakan sosial untuk mencari solusi data DP3AP2KB Jateng, kasus kekerasan terhadap perempuan di provinsi itu masih tinggi. Pada 2016, terdapat kasus, kemudian menjadi kasus 2017, dan kasus 2018. Pada 2018, tiga kasus paling dominan adalah kekerasan seksual, fisik, dan Jateng Ganjar Pranowo mengatakan, sejumlah isu terkait perempuan, seperti pernikahan dini, angka kematian ibu melahirkan, dan kekerasan dalam rumah tangga KDRT, terjadi karena perempuan dalam posisi sulit. Kesetaraan belum karena itu, koridor bagi perempuan perlu dibuka, termasuk melalui Kongres Perempuan Jateng I. ”Kongres ini saya titipi untuk menyelesaikan masalah-masalah itu. Kita tunggu rekomendasi yang akan membuat perempuan Jateng lebih berdaya,” juga Paus Kecam Eksploitasi PerempuanKOMPAS/ADITYA PUTRA PERDANA Suasana diskusi pada pembukaan Kongres Perempuan Jawa Tengah I, di Kota Semarang, Senin 25/11/2019. Kongres yang berlangsung pada 25-26 November itu mengangkat tema ”Menguatkan Kepemimpinan Perempuan untuk Mewujudkan Pemerintahan yang Demokratis, Adil, dan Sejahtera”.Ganjar menuturkan, hal positif yang didapatkannya adalah perempuan Jateng terlibat aktif dalam berbagai musyawarah rencana pembangunan musrenbang. Ia pun mendorong perempuan untuk bersuara agar program-program pemerintah berperspektif Sholikah 38, perempuan nelayan asal Kabupaten Demak, menuturkan, pihaknya kerap terlibat dalam musrenbang tingkat desa. Namun, ketika pada tahap perumusan, mereka tak lagi dilibatkan sehingga apa yang disampaikan tak dijadikan acuan.”Sebagai perempuan nelayan, kami harap ada pengakuan. Selain nelayan, ibu-ibu pedagang dan pengolah hasil perikanan juga kami harapkan bisa diakui negara,” ujarnya. Sebelumnya, lewat perjuangan selama tiga tahun, ada 31 perempuan nelayan di Demak yang mendapat kartu asuransi nelayan, tetapi itu masih sebagian juga Penuhi Hak Kesehatan Perempuan
Survey dari Dice menjelaskan bahwa masih adanya diskriminasi gender yang dialami oleh perempuan di dalam dunia pekerjaan. Melihat masih adanya kasus diskriminasi gender yang ada di dunia kerja, sudah seharusnya hal seperti ini mulai diantisipasi. Akan tetapi, masih banyak juga perusahaan yang tidak melakukan diskriminasi gender. Ada beberapa contoh kasus yang membuat pekerja perempuan merasa dibeda-bedakan dengan pekerja laki- laki. Pada saat melakukan pengambilan keputusan, jika ide itu datang dari perempuan terkadang masih sangat diragukan. Sementara, pada laki-laki terjadi hal yang justru sebaliknya lebih dipercaya dan tidak dipertanyakan. Padahal pada dasarnya setipa keputusan diambil dengan pemikiran dan resiko yang telah dipersiakan dan diketahui sebelumnya. Adapula beberapa pekerjaan yang biasanya dilakukan oleh laki- laki saat ini juga dilakukan oleh perempuan. Kemungkinan terjadinya pembeda-bedaan akan semakin terlihat jelas pada saat ituu. Akan tetapi, kembali lagi kepada individunya masing- masing karena setiap individu memiliki pemikiran yang berbeda- beda. Jika kamu ingin mengatasi hal- hal seperti ini, maka kamu bisa memperhatikan tips berikut ini Tips Menghadapi Diskriminasi Gender di Tempat Kerja © 1. Membuat kesetaraan Terapkan aturan untuk menyetarakan antara perempuan dengan laki- laki dalam bidang pekerjaannya. Setiap orang memiliki dan kemampuan yang dijalaninya dengan cara yang berbeda- beda. Baik gender laki- laki atau perempuan tidak masing- masing memiliki kemampuan. Hanya saja yang membedakannya cara bersikap dan cara menerapkannya. Pada dasarnya keberagaman yang ada membuat perkembangan perusahaan tetap ada. Berbagai latar belakang, sudut pandang, pengalaman, etnis, dan lain sebagainya yang membantu membentuk warna baru di tempat kerja. 2. Buktikan melalui hasil pekerjaan Pada awalnya mungkin kamu akan mengalami kesulitan untuk menyesuaikan dengan lingkungan tempat kerja. Akan tetapi, pada langkah selanjutnya ketika kamu berhasil membuktikan pekerjaan kamu dengan hasil yang terbaik kondisi akan berubah. Seiring berjalannya waktu dengan hasil pencapaian, kamu akan bisa menggeser berbagai diskriminasi gender yang ada. Buktikan bahwa kamu sebagai perempuan bisa melakukan apa yang selama ini diremehkan dari diri kamu. 3. Sebagai atasan adakan arahan mengenai gender Salah satu cara untuk mencegah terjadinya pengkotak kotakan terhadap gender perempuan dengan laki- laki sebaiknya dimulai pencegahand ari atasan langsung. Mencegah terjadinya hal tersebut, perlu diberikan arahan mengenai gender baik perempuan maupun laki- laki. Ketika adanya diskriminasi gender, kamu bisa merasakan bahwa adanya ketidaknyamanan pada situasi kerja. Ketidaknyamanan ini juga bisa berdampak kepada terjadinya demotivasi kerja karyawan. Ketika terjadi demotivasi kerja maka, karyawan akan memberikan hasil yang tidak maksimal. Dampak lainnya bisa menyebabkan kamu kehilangan karyawan sebab memilih untuk berhenti. 4. Jika ada keluhan tentang diskriminasi gender segera atasi Baik laki- laki maupun perempuan yang merasa bahwa dirinya mengalami perbedaan karena masalah gender, sebaiknya segera diatasi. Semakin cepat mengatasi maka, akan semakin mengembalikan kenyamanan lingkungan kerja. Jangan mendiamkan terlalu lama keluhan mengenai diskriminasi gender, apalagi menunggu sampai tingkat kejadian meningkat. Buatlah prosedur yang jelas mengenai cara mengantisipasi kejadian- kejadian seperti ini. Ketika adanya keluhan penting bagi kamu segera menyelidiki masalah yang terjadi dan segera mencarikan solusi terbaik untuk mengatasi hal tersebut. Pastikan kamu telah memeriksa seluruh saksi dan bukti- bukti lainnya. 5. Sadari apakah kamu menyinggung atau tidak Ada beberapa tipe orang yang secara tidak sadar telah menyinggung mengenai gender saat sedang berbicara. Pada dasarnya setiap orang memiliki yang namanya bias tidak sadar yang menyebabkannya melakukan hal tersebut. Salah satu caranya yang bisa kamu lakukan dengan menjaga ucapan dan berfikir terlebih dahulu sebelum kamu membicarakan sesuatu. Walaupun pada kenyataannya bias tidak sadar ini terjadi tanpa disengaja. Apa itu bias tidak sadar? Bias itu merupakan sifat alami yang dimiliki oleh manusia yang dapat digunakan untuk pengambilan keputusan yang sifatnya masih terbilang umum. Akan tetapi sifat alami ini juga mampu memiliki kekurangan. Adapun dalam menghadapi yang mananya bias sebagai sifat alami seseorang bisa dilakukan dengan pengambilan keputusan berdasarkan bukti. Apa saja buktinya berupa hasil evaluasi bersama maupun data- data valid yang ada. Walaupun setiap manusia memiliki bias tidak sadar akan tetapi, dalam dunia pekerjaan ada yang tidak lagi mengalami diskriminasi gender. Contoh Riset yang Menunjukkan Kesetaraan Gender © 1. Pew Research Center Berdasarkan riset dari Pew Research Center, perempuan milenial sudah mulai memiliki pendapatan yang serupa dengan laki-laki. Di mana, perempuan bekerja berusia dari 25-34 tahun, mendapatkan pendapatan sebesar 93% dari laki-laki pada umumnya. 2. Arlington Di tahun 2015-2016, data menunjukkan bahwa karyawan perempuan mendapatkan peningkatan pendapat sebesar 12% sementara karyawan laki- laki sebesar 4%. 3. Chesapeake Pada tahun 2015, didapatkan data bahwa karyawan perempuan mendapatkan 74% dari yang dihasilkan laki- laki. Sementara itu di tahun 2016 presentase tersebut mengalami peningkatan menjadi 87,2 %. Hal tersebut telah membuktikan bahwa tidak semua pelaku di dunia bisnis terdapat diskriminasi gender. Masih banyak juga pekerja yang tidak membeda-bedakan kemampuan pekerja berdasarkan jenis kelaminnya. Itulah dia tip yang bisa diterapkan untuk mengatasi diskriminasi yang terjadi di tempat kerja. Jangan lupa untuk sign up di Glints ya agar bisa mendapatkan informasi penting lainnya mengenai lowongan pekerjaan. Technologists Share Perspectives on Inequality and Discrimination in New Dice Report On Pay Gap, Millennial Women Near Parity – For Now
› Opini›Kekerasan terhadap Minoritas... Menghapus praktik kekerasan dalam masyarakat kita, yang sudah jadi pilihan rasional bagi sebagian masyarakat, bukan hal sederhana. Diperlukan berbagai kanal sekaligus katalisator sosial kultural yang mampu meminimalkan. Kompas Didie SWSatu dekade terakhir, Indonesia mendapatkan catatan buruk mengenai kekerasan terhadap ilustrasi, pada tahun 2012, Human Rights Watch HRW mengeluarkan sebuah laporan yang menyatakan Indonesia sebagai negara yang tinggi dalam aksi kekerasan terhadap minoritas. Pada saat itu, Presiden SBY diminta untuk menekan peningkatan kekerasan terhadap minoritas yang berpotensi terjadi di Indonesia. Kritik ini menegaskan bahwa Indonesia di mata dunia internasional menjadi negara yang akrab dengan kekerasan, khususnya terhadap minoritas. Kritik juga memberikan peringatan bagi kita, khususnya pemerintah, untuk lebih tegas dalam mengambil peran mencegah dan melindungi kelompok HRW memberikan makna negatif dalam konstruksi citra Indonesia di mata dunia internasional. Secara lebih luas, laporan HRW jadi catatan serius dalam kasus pelanggaran HAM di Hari Hak Asasi Manusia HAM pada 10 Desember 2021 ini menjadi momentum sekaligus refleksi bahwa kekerasan terhadap minoritas di Indonesia menjadi isu problematik yang tak pernah berhenti terjadi. Malah melihat polanya semakin sistematis dan terlembagakan dalam berbagai bentuk yang ada. Kita harus mengingatkan bahwa negara harus melindungi minoritas, apa pun bentuknya, bukan malah melakukan pembiaran terhadap kekerasan yang terjadi dengan laporan HRW itu membawa kita pada kasus-kasus yang terjadi sepanjang 2019 dan kurun 2020. Meski laporan HRW dirilis hampir sembilan tahun lalu, relevansinya masih mengingatkan kita pada serangkaian kasus kekerasan terhadap minoritas beberapa waktu lain yang menarik disimak juga, seperti dirilis adalah data tindak diskriminasi dan intoleransi terhadap kelompok minoritas, khususnya dalam kerukunan beragama, yang dilakukan Komnas HAM bersama Litbang Kompas berjudul Survei Penilaian Masyarakat terhadap Upaya Penghapusan Diskriminasi Ras dan Etnis di 34 Provinsi. Survei dilakukan pada 2018 dan hasilnya memperlihatkan, kesadaran masyarakat terhadap isu diskriminasi ras dan etnis masih perlu 83,1 persen juga mengatakan lebih nyaman hidup dengan kelompok etnis yang 81,9 persen responden mengatakan lebih nyaman hidup dalam keturunan keluarga yang sama. Sebanyak 82,7 persen menyatakan merasa lebih nyaman hidup dalam lingkungan ras yang sama. Sebanyak 83,1 persen juga mengatakan lebih nyaman hidup dengan kelompok etnis yang yang menarik dari hasil survei ini? Sungguh tak habis pikir, rentetan tindakan anarkistis terjadi di Tanah Air setiap hari. Maraknya kasus kekerasan terhadap minoritas berkaitan dengan kebebasan beragama dan berkeyakinan, terutama dalam penolakan pembangunan masjid atau gereja di lingkungan mayoritas yang beda kekerasanBegitu gampangnya masyarakat kita melakukan praktik kekerasan. Seolah masyarakat kita seperti rumput panas yang mudah terbakar. Dalam hitungan menit bisa meletup amarah dan amuk massa. Masyarakat sering kali brutal jika melakukan praktik kekerasan. Beberapa kali kantor pemerintahan, seperti kantor bupati dan instansi pelayanan publik lain, hancur dibakar pengujung 2020, kita digemparkan dengan tragedi pembantaian satu keluarga di Kabupaten Sigi, Sulawesi Tengah. Tragedi itu terjadi pada 27 November 2020, menewaskan empat warga minoritas, pelaku mengambil 40 kilogram stok beras dan membakar enam rumah warga. Tragedi kemanusiaan ini tidak bisa dibenarkan, apa pun alasannya, dan sebagai bagian dari warga yang beradab, kita harus mengutuk keras kekejian tersebut. Tindakan kekerasan dengan dalil apa pun hingga merenggut nyawa adalah tindakan paling barbar dalam sejarah juga Intoleransi yang MencemaskanTragedi Sigi ini pula yang membawa kita merenungkan kembali arti penting kemanusiaan dan peradaban dalam praktik sosial kita sehari-hari. Refleksi kritis itulah yang mengantarkan kita mempertanyakan apakah kehidupan sosial kita masih bisa menikmati apa yang disebut kehidupan beradab civilized life sebagaimana disebutkan Alfred Marshal bahwa semua individu bisa menikmati civilized life dengan proteksi hak-hak individu oleh saat bersamaan, yang membuat kita semakin sedih adalah reproduksi kekerasan terhadap minoritas semakin subur dalam beberapa tahun terakhir. Praktik kekerasan ini secara masif semakin menempatkan wajah Indonesia yang berada dalam labirin kekerasan. Dengan kata lain, sulit melepaskan kekerasan sebagai mekanisme sosial dari kelompok-kelompok yang memiliki sumber daya sumber daya inilah yang kemudian semakin melanggengkan kekerasan secara diskursif dalam tatanan sosial. Akibatnya, kelompok-kelompok yang defisit sumber daya, yaitu kelompok minoritas, semakin terpinggirkan dalam formasi sosial SupriyantoRasionalisasi kekerasanPasca-Orde Baru, kita dihadapkan pada kondisi sosial yang memiliki dinamika sangat tinggi. Konflik sosial horizontal menjadi fakta yang tak terbantahkan. Jika ditelusuri lebih jauh, selama Orde Baru, kita dibenturkan dengan politik Orde Baru yang mengharamkan terjadinya konflik sosial. Potensi konflik diredam sedemikian rupa karena dapat mengganggu kestabilan politik penguasa. Ibaratnya, konflik masyarakat ditutup di bawah karpet yang tak tampak ke setelah karpet kekuasaan Orde Baru tumbang, semua konflik yang disembunyikan bermunculan ke permukaan. Masyarakat tak diajarkan mengelola konflik sebagai sebuah entitas penting dalam ruang sosial. Sudah 22 tahun Reformasi berlangsung. Celakanya juga, selama kurun waktu tersebut, berbagai konflik sosial horizontal ataupun berbagai praktik kekerasan kelompok sipil seolah tak kunjung eskalasinya semakin meningkat dengan berbagai akar masalah yang sering kali gara-gara hal sepele. Kita bisa menyaksikan dengan saksama di televisi, para pelajar yang melakukan aksi tawuran dengan sadis menghancurkan bis kota ataupun mobil pribadi yang berada di sekitar lokasi lagi yang bisa dikatakan jika masyarakat kita mudah tersulut emosi untuk melakukan lagi yang bisa dikatakan jika masyarakat kita mudah tersulut emosi untuk melakukan kekerasan. Saya membayangkan, jika praktik kekerasan terus berlangsung, ini akan berbahaya bagi kohesi sosial yang kontraproduktif dalam pembangunan meminjam penjelasan Erich Fromm, psikolog psikoanalis yang tergabung dalam Mazhab Frankfurt, masyarakat kita yang akrab dengan kekerasan disebut destructiveness. Ciri ini merujuk pada karakter masyarakat yang berupaya mencari kekuatan dengan cara merusak dan menghancurkan kelompok lain yang dianggap mengganggu dan memberikan ketidaknyamanan bagi kelompok pelaku kekerasan tindakan kekerasan tersebut dirasionalisasi sebagai tugas, kewajiban, ataupun tanggung jawabnya. Karakteristik yang dikemukakan Fromm tersebut sejatinya sudah menjadi peringatan bagi kita untuk tidak melanggengkan kekerasan dalam struktur kognitif masyarakat kita. Jika di lapangan kita melihat pola reproduksi sosial kekerasan terus berlangsung secara masif, maka masyarakat kita sesuai dengan apa yang dijelaskan Fromm 1995 sebagai ”masyarakat sakit” the sick society.Baca juga Konsolidasi Organisasi Masyarakat SipilPada masyarakat sakit, kita perlu simultan mengembalikan masyarakat sakit ke masyarakat sehat. Ini memerlukan pendasaran sosial, kultural, pendidikan, ekonomi, politik, dan hukum yang mampu menopang ruang sosial kondusif bagi seluruh kewargaanMenghapus praktik kekerasan dalam masyarakat kita yang sudah menjadi pilihan rasional bagi sebagian masyarakat bukan hal sederhana. Diperlukan berbagai kanal sekaligus katalisator sosial kultural yang mampu meminimalkan kekerasan dengan segenap aparatnya menjadi aktor penting yang mampu menyediakan ruang sosial bagi pendasaran masyarakat sehat tersebut. Kelompok minoritas yang lemah sumber daya adalah kelompok yang paling rentan dalam relasi kekuasaan ekonomi politik negara dalam labirin kekerasan tersebut menunjukkan bahwa negara gagal memberikan proteksi sosial ekonomi kepada kelompok rentan ini. Akibatnya, dalam relasi ketimpangan tersebut, minoritas menjadi kelompok yang terancam hak-haknya dan kian terpinggirkan dalam formasi sosial itu. Fenomena ini dialami secara masif oleh berbagai kelompok minoritas yang ’’tersisih’’ dalam kontestasi sosial minoritas yang lemah sumber daya adalah kelompok yang paling rentan dalam relasi kekuasan ekonomi politik sosiologis, relasi sosial kita menghadapi apa yang disebut situasi ’’tanpa kewargaan’’ Robet, 2013193. Situasi ketika kelompok minoritas kehilangan identitas dan hak-haknya sebagai ’’hasil’’ kontestasi sosial politik tersebut. Dalam konteks itulah diperlukan politik kewargaan yang mendorong kelompok-kelompok minoritas memperjuangkan identitas dan hak-haknya sebagai bagian dari kewargaan mereka identitas ini bisa menjadi konter terhadap hegemoni sumber daya yang dengan kasatmata sangat surplus dalam kontestasi tersebut. Mekanisme ini akan berjalan jika negara bisa mengambil peran strategis dalam berbagai kebijakan sosial ekonomi yang dengan tegas memberikan proteksi kepada kelompok minoritas sisi lain, secara kasatmata kita bisa melihat di lapangan, negara melalui aparatusnya datang terlambat, tidak berdaya, dan membiarkan setelah tindakan kekerasan tersebut berlangsung. Aparat seolah tak berdaya menghadapi masyarakat yang brutal tersebut. Aparat kepolisian harus lebih responsif jika tidak ingin selalu dikatakan membiarkan kekerasan tersebut informal di masyarakat juga tak kalah pentingnya memiliki peran penting bagi perilaku masyarakat. Kepemimpinan informal menjadi role model masyarakat dalam berperilaku sehari-hari. Maraknya praktik kekerasan belakangan ini membuat kita prihatin dengan hilangnya dialog sebagai cermin dari rasionalitas Rakhmat HidayatJika ada kelompok masyarakat yang berbeda pemikiran ataupun faham hingga ideologi, saya kira secara elegan bisa menyelesaikannya dengan dialog kultural yang membangun kebersamaan. Dengan demikian, jika terjadi konter diskursus, kita akan melihat terjadinya dialektika yang produktif. Dengan cara ini, kita terus belajar menjadi bangsa yang memiliki peradaban Hidayat, Sosiolog Universitas Negeri Jakarta UNJ; Fellow Kebebasan Beragama dan Berkeyakinan CRCS UGM 2020 EditorSri Hartati Samhadi, yohaneskrisnawan
upaya untuk menekan dan menghapus praktik praktik diskriminasi dengan melalui