Datarasio dosen terhadap mahasiswa pada masing-masing program studi serta proyeksi jumlah dosen pensiun dalam 5 tahun kedepan ditampilkan pada Tabel 5, Poltekkes Tanjungkarang sampai dengan tahun 2020 memilik Dosen tetap sejumlah 146 dengan rasio dosen/mahasiswa rata-rata ditiap program studi adalah 1:26. Kemudianterbit Surat Edaran Dirjen Dikti no. 2920/DT/2007 menjadi Standar rasio dosen tetap : mahasiswa = 1:25 (berlaku sama untuk bidang IPA dan IPS). Pada prinsipnya ketentuan sk 234. sk 108 dan SE 2920 masih berlaku sepanjang tak bertentangan dengan UU no.12 tahun 2012 dan Permendikbud no.49 tahun 2014. 7 Jumlah dosen pada masing-masing jurusan memiliki rasio dosen : mahasiswa (secara keseluruhan) 1 : 25 (perbandingan ini akan ditinjau kembali sesuai standar akreditasi 2011); 8. Sistem insentif harus dikaitkan dengan pengajaran dan pembelajaran, penelitian dan dan pembelajaran dan pengabdian kepada masyarakat; 9. Fast Money. Oleh Johanes Eka Priyatma JAKARTA, KOMPAS - Minggu-minggu ini pimpinan perguruan tinggi, terutama perguruan tinggi swasta, gelisah seperti dikejar hantu karena mendapat surat peringatan dari pemerintah. Peringatan tersebut terkait dengan kecukupan rasio minimal dosen-mahasiswa untuk setiap program studi. Pemerintah telah menetapkan bahwa untuk program studi eksakta, rasio tersebut minimal 130 dan untuk program studi non-eksakta minimal 145. Pemerintah memberikan ancaman kepada pimpinan perguruan tinggi negeri PTN dan perguruan tinggi swasta PTS bahwa program studi yang punya rasio jauh lebih kecil dari angka itu akan ditutup. Apakah "hantu" yang menakutkan ini sungguh layak kita takuti?Dasar penetapan rasio Pemerintah memakai dalih bahwa rasio dosen-mahasiswa dapat menjadi cara efektif untuk mengendalikan mutu program studi. Namun, kalau kita cermati lebih jauh, argumentasi pemerintah ini sebenarnya lemah dan bahkan mengandung banyak konsekuensi yang justru akan menurunkan kualitas program studi. Pertama, rasio dosen-mahasiswa hanyalah salah satu dari banyak sekali faktor penentu kualitas program studi. Pemerintah sudah lama mengharuskan pemakaian mekanisme akreditasi sebagai cara komprehensif menilai kualitas program studi. Dari waktu ke waktu, instrumen penilaiannya semakin lengkap dan mendetail serta telah mencakup input, proses, dan output sebuah program studi. Apakah kecukupan rasio dosen-mahasiswa dapat menegasikan begitu saja status atau peringkat akreditasi suatu program studi? Sampai sekarang pemerintah tidak memberi penjelasan keterkaitan antara kualitas program studi berdasar akreditasi dan kecukupan rasio dosen-mahasiswa ini. Kedua, pemerintah tidak pernah menjelaskan dari mana rasio 130 dan 145 ini diperoleh dan dalam konteks apa? Kalau rasio ini digunakan dalam konteks pembelajaran, banyak PTS akan gulung tikar ketika jumlah peserta kuliah di setiap kelas dibatasi hanya 30 dan 45. Bagaimana PTS dapat membiayai layanan pendidikannya ketika justru program studi eksakta yang banyak membutuhkan prasarana pembelajaran seperti alat-alat laboratorium dan bahan habis pakai harus ditanggung oleh lebih sedikit mahasiswa dibandingkan dengan untuk program studi non-eksakta? Lagi pula, program studi juga melibatkan para dosen tidak tetap atau calon dosen dalam pembelajaran, tetapi para dosen ini tidak dapat ikut dihitung sebagai pembagi dalam rasio tersebut. Kecukupan rasio 130 dan 145 sungguh tidak masuk akal jika hanya memperhitungkan dosen tetap saja, bahkan hanya dosen yang mempunyai Nomor Induk Dosen Nasional NIDN, padahal banyak PT yang mempunyai dosen yang belum ber-NIDN. Seandainya rasio ini terkait dengan pembimbingan tugas akhir maka 130 apalagi 145 justru tidak ideal dan juga tidak nyata karena untuk program S-1 empat tahun hanya sekitar 25 persen mahasiswa di suatu program studi yang perlu bimbingan tugas ketentuan rasio minimal ini akan menurunkan antusiasme masyarakat untuk terlibat mencerdaskan bangsa karena angka partisipasi kasar APK pendidikan tinggi kita masih di bawah 20 persen. Ketentuan tentang rasio dosen- mahasiswa akan menjadikan PTS terlalu mahal bagi masyarakat. Untuk program studi eksakta, rasio 130 membawa konsekuensi jumlah mahasiswa total empat angkatan hanya 180 untuk jumlah dosen enam orang. Jika setiap mahasiswa rata-rata membayar Rp 3 juta selama satu semester, program studi itu hanya mampu mengumpulkan dana Rp 480 juta. Dana ini tak akan cukup untuk menggaji enam dosen ditambah minimal dua karyawan serta membiayai kegiatan praktikum dan kemahasiswaan. Dengan kata lain, rasio ini akan menjadikan program studi di PTS terlalu mahal bagi masyarakat. Keempat, di tengah semakin majunya sistem pembelajaran jarak jauh PJJ karena kecanggihan dan ketersediaan teknologi internet, rasio dosen-mahasiswa ini akan berlawanan dengan pengembangan PJJ. Internet sebagai platform PJJ justru mendobrak keterbatasan fisik sehingga mampu meningkatkan jumlah peserta pembelajaran. Pemerintah telah mengakui hal ini bahkan mendorong PT di Indonesia untuk mengembangkan PJJ. Lagi pula, dalam konteks negara besar kepulauan, Indonesia semestinya menangkap peluang PJJ berbasis internet karena PJJ dapat secara efektif memperluas jangkauan dan meningkatkan partisipasi belajar masyarakat. Konteks pengembangan PT Kalau PJJ juga harus memenuhi ketentuan rasio dosen-mahasiswa ini betapa PJJ menjadi absurd untuk dilakukan. Pemakaian kriteria rasio dosen-mahasiswa sebagai ukuran kualitas pembelajaran tidak lagi sesuai semangat zaman ini karena di zaman digital belajar harus kita pahami dengan cara baru. Perkara belajar bukan lagi pertama-tama perkara bertemu dengan otoritas keilmuan, tetapi lebih sebagai perkara akses ke sumber pengetahuan. Memang rasio dosen-mahasiswa ini akan memaksa program studi untuk meluluskan mahasiswanya secara tepat waktu. Semakin banyak mahasiswa yang tak lulus tepat waktu akan memperkecil rasio ini. Konsekuensinya, untuk program studi eksakta yang mempunyai enam dosen, setiap tahun hanya bisa menerima 30 mahasiswa baru dan setiap tahun harus meluluskan 30 mahasiswa lama. Hal ini bukan perkara mudah. Solusi lain adalah menambah dosen, tetapi akan membawa konsekuensi membesarnya pendanaan untuk gaji dosen. Oleh karena itu, pemerintah perlu menerapkan ketentuan rasio dosen-mahasiswa ini dalam konteks pengembangan PT secara tepat. Apakah ketentuan ini dibuat dalam konteks pembelajaran tatap muka ataukah dalam konteks pendampingan penulisan tugas akhir atau pendampimgan kegiatan mahasiswa atau untuk semuanya? Selain itu, pemerintah perlu menjelaskan dari mana dan atas pertimbangan apa memakai batas 30 dan 45. Jika kedua hal ini tidak jelas, ketentuan rasio ini justru akan seperti hantu yang menakuti banyak orang, padahal tidak nyata kehadiran dan relevansinya. Johanes Eka PriyatmaRektor Universitas Sanata Dharma Yogyakarta * Artikel ini sebelumnya tayang di Harian Kompas edisi Rabu 15/4/2015. Dapatkan update berita pilihan dan breaking news setiap hari dari Mari bergabung di Grup Telegram " News Update", caranya klik link kemudian join. Anda harus install aplikasi Telegram terlebih dulu di ponsel. JAKARTA - Banyak Perguruan Tinggi PT yang rasio dosen dan mahasiswanya jauh dari ideal. Rasio yang mengindikasikan kekurangan dosen ini tersebar di seluruh wilayah Indonesia. Ia menerangkan, terdapat PT yang memiliki rasio yang sangat jauh dari, yakni 180 hingga 1100. Padahal rasio ideal adalah 125 dan 130.“Kekurangan dosen menyebar dari Kopertis 1 sampai 14,” ujar Menteri Riset, Teknologi dan Pendidikan Tinggi Menristekdikti, Muhammad Nasir usai Pelantikan Pejabat Eselon 2 di Gedung D Kemenristekdikti, Jakarta, Jumat 4/9.Dari sejumlah Kopertis itu, Nasir mengungkapkan Kopertis wilayah empat, Jawa Barat, paling besar mengalami kekurangan dosen. Posisi selanjutnya diikuti Kopertis wilayah Medan, Sumatera Utara Sumut.Nasir mengatakan, kondisi demikian terjadi akibat Nomor Induk Dosen Nasional NIDN yang dimiliki para dosen. “Selama ini yang terjadi adalah karena dosen yang diakui itu dengan nomor induk nasional,” kata dia. Ia berpendapat, hal tersebut menjadi pembagi pada PT Swasta PTS, Nasir mengungkapkan, banyak dosen yang telah pensiun. Kemudian mereka melanjutkan karirnya di Pemerintah Daerah Pemda. Ia berpendapat situasi itu tentu sangat disayangkan mengingat kemampuan dan potensi mereka baik untuk terus menjadi dosen. Karena itu, ia menilai hal inilah yang menjadi hambatan untuk keluar dari masalah kekurangan dosen. Terutama, kata dia, yang terjadi di PTS. Oleh sebab itu, pihaknya tengah mempersiapkan Peraturan Menteri Permen terkait hal mengungkapkan, pemerintah akan menetapkan Nomor Induk Dosen Khusus NIDK. NIDK ini sendiri diperuntukkan dosen yang sudah pensiun, yakni di atas 60 tahun. Mereka mendapatkan tugas kembali menjadi dosen di perguruan tinggi lain, terutama di swasta. Selain itu, NIDK juga digunakan untuk para dosen tidak tetap tapi memiliki keahlian adanya penetapan NIDK, Nasir berharap rasio dosen dan mahasiswa bisa turun. Setidaknya, kata dia, mampu mencapai 125. Sehingga, tambah dia, kinerjanya pun bisa semakin baik nantinya. “NIDK sendiri memang menjadi salah satu perhitungan rasio,” tutupnya. BACA JUGA Update Berita-Berita Politik Perspektif Klik di Sini

cara perhitungan rasio dosen dan mahasiswa